Kamis, 02 Juli 2009

AHLUSSUNAH WAL JAMAAH

Taqdir Global Aswaja
Misbah Em, Majidy*



Imam Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, adalah dua sosok yang memiliki tempat tersendiri di kalangan kaum Sunni, karena melalui dua ulama kharismatik itulah ahlu Sunnah Wal Jama'ah lahir sebagai faham ideologi keagamaan. Faham ini lahir sebagai reaksi terhadap perkembangan pemikiran kelompok Mu’tazilah yang begitu ‘liar’, dimana doktrin ketuhanan dan keimanannya semakin menimbulkan kegoncangan spiritual ideologis yang dahsyat. Faham Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang di’ajarkan’ Imam Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi pada galibnya merupakan koreksi terhadap berkembangnya berbagai doktrin keTuhanan dan keimanan (visi aqidah) yang dipandang menyimpang dari ajaran Nabi dan para sahabatnya.

Kaitanya dengan pandangan Jabariah yang fatalistik tentang nasib serta pandangan Qodariyah yang berpaham tentang kemampuan manusia untuk menentukan perbuatannya, seperti dalam tatapan ideologis kaum Syi'ah dan Mu’tazilah, kaum Sunni (baca : Aswaja) membuat garis batas yang jelas terhadap kedua kelompok tersebut. Secara epistimologi Ahlu Sunnah wal jamaah bisa diartikan sebagai "Para penganut tradisi nabi Muhammad dan Ijma ulama." Adapun secara terminologi, berarti “Ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah Saw, bersama para sahabatnya.” Pengertian ini mengacu pada hadist nabi yang terkenal hal mana Nabi memprediksikan bahwah suatu saat kelak ummat Islam akan terpecah dalam 73 golongan, semua celaka kecuali satu firqah, yaitu mereka berpegang teguh pada pegangan beliau dan pegangan para sahabat-sahabatnya. Dalam hadist lain yang senada, golongan yang selamat ini disebut sebagai Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.

Dalam nuansa komunitas kaum Nahdliyin (baca:Warga Nahdlatul Ulama) definisi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah punya arti yang lebih spesifik, sebagai faham yang berpegang teguh pada pada tradisi: (1) Mengikuti ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam konsepsi Fiqhiyah, walau dalam praktek ritualitas keseharian, para kiyai (ulama) penganut kuat madzhab Syafi'i. (2) Dalam visi Aqidah kaum Nahdliyin meng-imami- ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi. (3) Dalam visi ketasawufan warga Nahdlatul Ulama menganut dasar-dasar ajaran Abu Qosim Al Junaid.

Berangkat dari prediksi diatas, terlihat kaum Sunni (baca : Kaum Nahdliyin), dalam menyikapi taqdir global kehidupan (modernitas) menerimanya dengan penuh responsif dan lebih luwes, dibanding mereka yang mengklaim dirinya kaum Modernis , (yang berupaya memurnikan Islam dengan kembali ke pesan Qur’ani dan Sunnah semata, tidak bermadzhab, memberantas segala bentuk Bid’ah), sementara kaum Nahdliyin senantiasa menterjemahkan taqdir global kehidupan ini dengan tetap berupaya menyelaraskannya dengan tradisi dan warisan budaya yang ada. Dengan penuh totalitas mengacu pada pesan-pesan Qur'ani dan Sunnah Rasul dus menjunjung tinggi nilai-nilai serta tradisi salafu sholih dengan tidak mengabaikan warisan para cerdik cendekia Islam sepanjang sejarah yang terkristalisa-sikan dalam madzhab-madzhab. Sebabnya adalah mustahil suatu generasi memulai upaya pembaruan-nya (guna menyikapi pelik keagamaan kontemporer) dari Nol, dan membuang hasil akumulasi pemikiran masa lalu. Toh penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya lokal dimana Islam disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai membiarkan ajaran agama yang terkontimasi sehingga perlu pemurnian. Karena penyelelarasan dalam batasan yang jelas justru akan membuat ajaran agama lebih kontekstual.

Keseluruhan cara pandang warga Nadliyin itu terakumulasi dalam sebuah kaidah Usul Fiqh "Al mukhafadzotu ala al qodimisholih wal Ahdzu bil Jadidil Aslah” (Mempertahankan milik lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Satu hal yang menandai karakteristik Kaum Nahdliyin kaitanya dengan operasionalisasi ajaran Aswaja dalam pengambilan sumber hukum lebih cenderung ke konsepsi Syafi'iyah (bagi Mazhab Syafi'i sumber hukum meliputi empat hal : Al Qur'an, Sunnah Nabi, Ijma serta Qiyas), yang mengantar kaum Nadliyin tampil dalam segala situasi secara fleksibel dan akomodatif serta tidak terpaku pada keputusan masa lalu dalam meluruskan dan merumuskan sikap mereka. Imam Syafi'i sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang moderat, watak itu didasari oleh aspek historis kehidupannya yang banyak mengembara dalam mengajarkan misinya di Makkah, Madinah, Baghdad dan Mesir, dimana ajarannya berkembang sesuai dengan ‘pelik persoalan sosial keagamaan’ kondisi komunitasnya. Disamping secara konsepsi Fiqhiyah Imam Syafi'i memilih jalan tengah dari Pemikiran Abu Hanifah Al Nu'man (yang cenderung rasionalistik) dan pemikiran Imam Malik Bin Anas (yang terpaku pada dogma Al Sunnah saja), dalam visi aqidati Imam Al Asy’ari pun telah ‘mengawinkan’ pemikiran Mu’tazilah yang rasionalistik dengan pola pemikiran yang berpijak pada kontek Nash.

Epoc keagamaan semacam itu pada giliranya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas kaum Nadliyin, yang selalu i'tidal dan tawasuth, sikap tengah (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan bersama, sikap tasamuh, (toleran terhadap perbedaan), tawazun (seimbang dan tidak ekstrem), serta amar ma'ruf nahi mungkar, (meng anjurkan kebaikan dan mencega keburukan) dalam menterjemahkan hidup dan kehidupan yang ada. Permasalahannya adalah sudahkah perangkat ideologi Aswaja itu menjadi bagian yang intregral dalam diri kaum Nahdliyin.....? Sebab klaim yang ada, kaum Nahdliyin selalu di identikkan dengan kaum ’sarungan’ yang mengambarkan sosok bersarung dan berbeci, yang berjalan menunduk sambil satu tangannya memegang kitab kuning, sementara satu tangan yang lain menggenggam untaian tasbih, atau jika tidak bagi sementara orang kaum Nahdliyin adalah sebuah stereotip komunitas yang ber-ussali dan ber-qunut-ria dalam sholat mereka dan meyakini bilangan 23 dalam rakaat tarawihnya, serta begitu rajin menggelar tour ke makam auliya' (tawasul kepada para wali), dengan bahasa yang sedikit minor warga Nadlatul Ulama di sebut sebagai kaum yang berlabel 'tradisionalis'.

Apapun klaim yang di sandangkan satu hal yang tidak bisa kita nafikan bahwah epoc ideologi Aswaja adalah salah satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan beragama di negeri kita, yang terlihat begitu jelas dalam berbagai dimensi kehidupan yang ada. Sebab pelaku ideologi Aswaja yang basis massanya adalah masyarakat agraris (pertanian) lebih dekat dan akrab dengan alam, tinggal diwilayah pedesaan (rural) yang dalam pandangan kosmologinya, mereka lebih mengutamakan harmoni dan sebisa mungkin menghindari konflik, pertimbangan rasa lebih utama katim-bang nalar (rasio), mempercayakan nasib kepada taqdir jauh lebih dicondongi ketimbang mempertaruhkannya kepada kemampuan dan prakarsa sendiri.

Dalam sudut ke-jam'iyahan, komunitas Nahdliyin lebih terasa tumbuh sebagai masyarakat paguyuban katimbang patembayan, dengan tingkat kesetiaan warganya yang penuh totalitas kepada tokoh yang bersifat formal-impersonal (baca : Para kiai dan Ulama) yang menjadi ‘panutan’ dalam berbagai bentuk konsesus keagamaan, yang oleh Masdar Farid Mas’udi disebut sebagai ‘Feodalisme’ gaya-NU-an. Hal itu sah-sah saja terlebih dalam menyikapi ‘taqdir global langit’ kehidupan saat ini, dimana ‘model’ kehidupan masyarakat kota dan desa sudah begitu samar terkubur dan terpolakan oleh berbagai saluran media elektronik dan media massa. Di mana hal ini banyak menyentuh berbagai strata kehidupan masyarakat, yang punya nilai tersendiri bagi pelaku ideologi Aswaja (baca : warga Nahdliyin) dalam mempertahankan nilai dan tradisi pengajian sorogan (pesantren di dusun-dusun) Tahlilan, diba’an (membaca berzanji), dzikir Yasinan, sholawat badar, yang disekat dengan label ’kolot'. Di tengah gebyar arus ‘model’ kehidupan modern yang kian global, peran para kiai dan ulama, dus kaum cerdik cendekia muslim, sangat diperlukan adanya. Esensi permasalahannya bukanlah pada tradisonalitas maupun modernitas dalam me- wajahkan sikap keagamaan yang ada, akan tetapi kebesaran dan keberanian kita dalam menata hati dan fikir dalam menyikapi globalitas taqdir (riak permasalahan zaman) dengan memegang teguh tradisi keyakinan kita berideologi, dus mentranfer nilai-nilai Ahlu Sunnah wal jama'ah pada diri dan komunitas kita. Itulah 'garapan' yang perlu kita fikirkan, sebab 'kemajuan' tidak mesti dipungkiri, akan tetapi harus di 'sikapi' sebagai konsekwensi logis kehidupan insani, karena pada saatnya bukan suatu hal yang mustahil bila seorang kiyai di desa yang terpencil ikut mengisi pengajian via internet.

Para kiai (seperti lazimnya dalam tradisi kaum Nadliyin) tidak saja disibukan dengan memberkahi tasyakuran haul dan acara-acara haflah, akan tetapi dituntut pula dengan berkah 'ngaji' ilmiah yang tertuang dalam karya tulis, dus makalah-makalah ilmiah keislaman lain-nya. Para kiai tidak saja duduk pada seremonial ritualitas sorogan akan tetapi duduk pula dalam forum seminar dan temuan-temuan ilmiah yang ada. Cara dan metode memang boleh berbeda (karena kodisi zaman) namun misi dan muatan haruslah tetap sama dengan menjadi- kan pesan Qur'ani sebagai pijakan awal langkah amalan kita dus tetap memegang teguh tradisi kenabian dan sunnah Rasul Saw, beserta para sahabatnya dengan mengikuti jejak salafus sholeh. Sebab seperti pesan Qur'ani,“Kebesaran adalah semangat konsistensi dalam menghadapi realita yang ada, serta mampu menyikapi segala permasalahan zaman dengan memegang teguh tradisi kejujuran dalam berkata dan berbuat.”(QS:33.23). Sekedar sebuah usaha untuk belajar mamaknai satu kelaziman yang ada, untuk menata kembali sikap ke- Aswaja-an kita, dalam mengaktualisasikan keislaman kita dan kredibilitas jama'ah kita. Walllahu A'lam.

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial