Rabu, 09 Desember 2009

Mendiknas: Seseorang Dituntut Memiliki Keseimbangan Literasi

Jakarta, Selasa (8 Desember 2009) -- Seseorang tidak hanya dituntut untuk memiliki literasi dalam bentuk ekspresi fisik saja. Lebih dari itu, dia dituntut untuk memiliki keseimbagan literasi dalam bentuk kecerdasan mata hati.


"Bisa jadi seseorang itu tidak mampu membaca dan menulis, memahami ilmu - ilmu yang terkodifikasi, tetapi dia mampu memahami hakekat kehidupan. Dia pun juga punya ilmu, hanya saja keaksaraannya tidak dalam bentuk keaksaraan fisikal literasi, tetapi keaksaraannya dalam bentuk ketajaman mata hati," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh pada kegiatan Temu Nasional 'Aksara Membangun Peradaban' di Depdiknas, Jakarta, Selasa, (5/12/2009) malam.

Mendiknas mengatakan, kemampuan membaca dan menulis tetap penting karena dengan kemampuan membaca dan menulis itu berarti seseorang memiliki semakin banyak pintu - pintu untuk memasuki rumah - rumah keilmuan. Namun, lanjut Mendiknas, meminjam istilah penulis dan futurolog Amerika, Alvin Toffler, iliterasi pada abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa learn, unlearn, dan relearn. "Kata dasarnya adalah belajar," ujarnya.

Lebih lanjut, kepada 300 peserta Temu Nasional, Mendiknas menjelaskan, dengan pergeseran membaca dan menulis ke belajar itu maka seseorang tidak lagi terikat dan terbatas pada kemampuan memahami fenomena - fenomena keilmuan yang terkodifikasi saja. "Dia pun juga dituntut untuk bisa memahami keilmuan - keilmuan yang tidak terkodifikasi atau tacit," katanya.

"Saudara - saudara kita yang mungkin bisa jadi mengalami disability di dalam membaca dan menulis karena persoalan fisik, tetapi bisa jadi mereka memiliki ketajaman hati yang jauh lebih tajam dibandingkan dengan kita yang bisa membaca dan menulis karena saudara - saudara kita justru memanfaatkan tacit-nya itu sebagai salah satu pintu masuk ke dalam dunia keilmuannya," kata Mendiknas.

Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Depdiknas Hamid Muhammad menyampaikan, kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya mengevaluasi kinerja gerakan nasional pemberantasan buta aksara sesuai dengan target yang diamanatkan dalam Inpres No.5 Tahun 2006 tentang gerakan nasional percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara (GNP-PWB/PBA) sekaligus dalam rangka sosialisasi hasil - hasil pengembangan pendidikan keaksaraan selama ini.

Hamid menjelaskan, pendidikan keaksaraan adalah komitmen internasional yang tertuang dalam deklarasi Dakkar yang mengamanatkan untuk menurunkan separuh jumlah penduduk buta aksara di masing - masing negara anggota UNESCO pada tahun 2015. Kebijakan ini, kata dia, direspon oleh Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya Inpres No.5 Tahun 2006 tersebut, serta penyediaan anggaran yang cukup signifikan selama empat tahun terakhir ini. "Target pengurangan jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas menjadi 5 persen," katanya.

Lebih lanjut Hamid mengatakan, penurunan angka buta aksara tersebut merupakan hasil dari program percepatan pemberantasan buta aksara yang diselenggarakan di seluruh tanah air antara lain pemberantasan buta aksara (PBA) di daerah transmigrasi, pesisir, sekitar hutan, kepulauan, dan perbatasan. Selain itu, PBA bagi masyarakat perkotaan yang belum terlayani, PBA bagi santri pesantren tradisional dan PBA bagi komunitas adat terpencil dan tertinggal.

Hamid menyebutkan, kebanyakan penduduk dewasa yang buta aksara adalah perempuan. "Jumlahnya sekitar 63 persen," katanya.

Oleh karena itu, kata Hamid, dalam pendidikan keaksaraan ini diintegrasikan pula afirmasi bagi pemberdayaan perempuan melalui kewirausahaan perempuan berbasis potensi lokal, pendidikan kecakapan hidup bagi perempuan marginal, pendidikan keluarga berwawasan gender, dan pendidikan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. "Pendidikan keaksaraan mengutamakan kemitraan dengan berbagai lembaga instansi terkait termasuk memanfaatkan struktur pemerintahan hingga level terbawah," katanya.

Hamid menyebutkan, pendidikan keaksaraan juga diselenggarakan bekerjasama denga berbagai mitra seperti tim penggerak PKK, Muslimat NU, Aisyiyah, Kowani, lembaga Al-kitab, perguruan tinggi, perusahaan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan lainya.

Hamid mengatakan, mulai tahun 2009 Indonesia menerapkan pendidikan keaksaraan untuk pemberdayaan atau literacy initiative for empowerement bersama UNESCO. "Prinsipnya adalah mengintegrasikan kegiatan pemberantasan buta aksara dengan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, fokus pendidikan keaksaraan mulai tahun 2010 nanti adalah pendidikan keaksaraan berbasis pemberdayaan masyarakat," imbuhnya.***


Sumber: Pers Depdiknas

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial