Kamis, 14 Juni 2012

PUING - PUING

 Oleh : Diani Anggrawati

 Laki-laki bercelena hitam panjang dan berkaos longgar masih saja duduk mematung memandangi puing-puing bangunan yang ada di sekitarnya. Rambut yang ikal sengaja tidak dipotong dan terlihat acak-acakkan tertiup angin sore. Kumis yang biasanya rutin ia rapikan setiap minggu sekali di biarkan tumbuh liar, ada dua tiga helai bulu kumisnya yang terlihat panjang mencolok. Dagunya sudah dipenuhi rambut jenggot yang mulai memanjang. Tatapannya kosong. Matanya menyorot tajam kesegala arah.

   Matahari mulai tenggelam. Dia menjadi tambah muram seperti bulan yang bersinar suram. Hatinya seperti dirundung kecemasan. Jiwanya mungkin tergoncang. Sesakali pandangannya menerawang ke angkasa luas, menatap matahari yang mulai tenggelam, panggilan kematian  menghatuinya. Seketika dia tertunduk kembali.

   Kali ini matanya menatap lama di puing-puing sisa rumahnya. Hanya pondasi kokoh yang terlihat yang tertanam di tanah itu, pemisah antara satu ruangan dengan ruangan  lainnya. Selebihnya puing-puing tembok yang berhancuran seperti kepingan hatinya yang tidak mungkin di satukan kembali. Di ruang tamu itu biasanya dia menghitung uang bertumpuk-tumpuk. Dulu ada sofa yang mahal, permadani yang indah di ruang tamu itu, namun kini tidak ada sofa. Dan permadani kesangannya itu hilang entah kemana. Di ruang tamu  biasanya istri dan anak-anaknya bercengkerama atau berebut acara TV kesukaan mereka. Tapi kini, dia sendiri tidak tahu keberadaan istri dan anak-anaknya. Sekarang matanya tertuju pada meja marmer antik kesayangannya. Marmer itu mengingatkan dia  pada Karman tukang kebunnya.

   “Tuan, kenapa selama saya bekerja di sini tidak dibayar? Padahal saya di sini sudah hampir empat tahun.” Karman tukang kebunnya mengingatkan dia saat dia menghitung bertumpuk-tumpuk uang di ruang tamu.

    Diletakkan uang yang ada di tangannya di atas meja, lalu laki-laki yang biasa di panggil Tuan oleh para pembantunya segera menatap lekat ke mata Karman, sehingga Karman salah tingkah matanya bertemu pandang dengan majikannya. “ Karman! Saya kan sudah bilang, kau jangan khawatir dengan uang kamu yang aku pegang. Saya jamin akan baik-baik saja. Kamu pikir aku tidak bisa  membayar kamu dengan bertumpuk-tumpuk uang di hadapanku ini?” menunjukkan uang dengan isyarat kepalanya.

“ Tapi Tuan saya ingin menikah dalam waktu dekat ini dengan Mona. Saya memerlukan uang saya, untuk melamarnya.”

“Kamu tahu uang yang ada di hadapanmu ini untuk menanam saham di Jakarta,” memasukkan uang-uang di koper kecil dengan cekatan.

“ Tuan! Kenapa Tuan tidak mempunyai hati pada saya? Saya disini bekerja ibaratnya tanpa di bayar. Saat ini saya sangat membutuhkan hasil jerih payah saya. Jika Tuan tidak bisa membayar dengan uang, maka berikan meja marmer itu kepada saya, Tuan!” Pinta Karman sambil menunjuk kearah meja.

“ Gila kamu Karman! Kamu tahu meja itu adalah meja antik yang sangat mahal sekali, Tahu!” Tuan Bagus segera berdiri dan melototkan biji matanya.

“ Aku sangat tahu Tuan. Jika Tuan memberikan meja itu pada saya pun tidak sebanding dengan uang gaji saya yang Tuan tidak  membayarnya selama empat tahun.” Suara Karman meninggi dan menyebabkan kemurkaan tuannya.

“ Kurang ajar kamu Karman! Angkat kaki kamu dari rumah ini! kamu berbicara pada saya sangat tidak sopan sekali. PERGIIIIIII…….!” Teriakan Tuan Bagus membahana dan merambat kesegala tembok-tembok rumahnya, sehingga pembantunya yang lain ikut terkejut.

    Detik  itu juga tanggal 20 Desember 2004 Karman angkat kaki dari rumah Tuan Bagus. Air mukanya merah padam dan matanya berkaca-kaca. Dia meninggalkan kota Meulaboh dan entah pergi kemana. Hatinya bergemuruh, nafasnya menggebu, dan sumpahnya tersupatri dalam hati yang sakit sekali. Salahkah dia meminta haknya untuk menikahi pujaan hatinya, Mona? Ah, betapa keji dan angkuhnya majikannya itu.

    Melihat pecahan meja marmer antiknya, Tuan Bagus tersedu dan menyesali perbuatannya. Kini tidak ada lagi yang ia banggakan. Tidak ada lagi yang ia sombongkan. Tidak ada lagi rumah megah kokoh  yang berdiri di Meulaboh, Aceh, yang masih tersisah adalah puing-puing rumah megah itu dengan empunya yang berpenampilan tidak karuan.

    Waktu itu pukul 7.50.53 pagi, tanggal 26 Desember 2004, saat Tuan Bagus sedang menikmati sarapan bersama sang Istri dan juga anak-anaknya, tiba-tiba ada getaran yang sangat kuat menggoyangkan rumahnya. Menit itu juga, air tsunami dengan ketinggian Sembilan meter meluluh lantahkan rumah meganya. Gempa berkekuatan 9,3 skala richter meruntuhakan segala-galanya dan  hatinya yang sombong.

    Dia masih ingat betul saat itu dia mengikuti tarian ombak yang maha dahsyat. Teriakan  memilukan mampu mengeluarkan air matanya walau ia gelagapan dalam air. Dia sempat melihat kepala istrinya terbentur pecahan meja marmernya dan darah segar mengalir deras di tarian ombak ganas itu. Dia mampu  melihat adegan istrinya dalam waktu sekejap, seketika istrinya di seret ombak entah kemana. Dia juga sempat melihat kedua anaknya berpelukan, ketika dia berusaha meraih tangan mereka, tiba-tiba sebatang pohon kelapa yang terombang-ambing menerjang tangan mereka. Hilang entah kemana anaknya. Mungkin mempunyai nasib yang sama seperti yang lain kebanyakan, mati atau hilang tidak diketahui keberadaaanya.

     Ketika berhari-hari terombang ambing di atas air laut dia terdampar di pantai Sigli. Oleh para sukarelawan,  dia di bawa di barak pengungsian. Berhari-hari dia menjalani perawatan medis di barak itu. Sebenarnya fisiknya tidak separah yang lainnya. Tetapi guncangan jiwanya cukup dahsyat. Dia diam menerawang ke luar jendela memandangi para sukarelawan yang menyelusuri puing-puing barang kali ada mayat baru berbau busuk di ketemukan.

    Sebulan berada di barak pengungsian itu, dia di jenguk oleh saudaranya yang tinggal di Takengon, Aceh Tengah. Takengon memang luput dari terjangan tsunami, karena daerahnya adalah daerah perbukitan. Namun getaran gempa itu dirasakan di Takengon juga. Waktu itu juga banyak yang panik karena Takengon daerah rawan gempa.

      Awalnya saudara tirinya yang mengambil Tuan Bagus melayani selayaknya keluaraga sendiri. Lambat laun sikap mereka sangat tidak bersahabat pada saudara tirinya itu. Tuan Bagus bekerja menjaga kebun milik adik tirinya tanpa upahan. Kadang pula cacian sering didapatkan. Apa ini yang di namakan karmapala, atau mereka saja yang sudah merasa terbebani dengan kehadiran saudara tirinya yang tiap hari makan dalam jumlah porsi yang sangat banyak. Yang jelas dahulu yang sering di panggil Tuan Bagus itu bernasib seperti, Karman pembantunya.

    Setahun dia tinggal di Takengon, laki-laki malang itu pergi secara diam-diam dari rumah saudaranya. Langkah kaki dan pikirannya tertuju pada rumahnya terdahulu di Meulaboh. Yang dia pikirkan hanyalah dia ingin beristirahat menghilangkan penat di hatinya. Bersua dengan istri tercinta dan anak-anaknya. Barangkali juga menginginkan untuk menghitung tumpukan uang di  meja tamunya.

    Namun ketika sampai di depan rumahnya alangkah terkejut dia melihat beronggok-onggok puing rumahnya. Awalnya dia hampir tidak percaya  bahwa runtuhan puing-puing itu adalah bekas rumahnya. Dia baru percaya kalau itu rumahnya karena dia melihat pecahan meja marmer kesayangannya.

     Lama sekali dia membayangkan kejadian-kejadian yang selama ini dia lalui. Dia merasa menyesal akan sikapnya selama ini. Dia  merasa menyesal akan perlakuannya kepada Karman. Dia begitu sombong semasa kejayaannya, angkuh, dan dia sama sekali tidak menginjakkan kaki di Masjid Baituhrahman. Dia juga lupa akan kisah Qorun yang di tenggelamkan hartanya oleh Allah. Padahal dulu neneknya sering bercerita kisah Qorun kepadanya. Apakah dia sekarang Qorun di era modern?

     Malam mulai merayap. Di langit bintang tak satu pun ada. Bulan di tutupi awan hitam. Dingin menembus tulang. Tapi dia masih tetap duduk memandangi puing-puing rumahnya. Terdengar bunyi jangkrik berderik. Suara jangkrik itu tidak bersahut-sahutan seperti biasanya. Suara itu tunggal. Mungkin nasib jangkrik itu seperti laki-laki malang ini.

     Orang yang baru saja sholat berjamaah dari masjid mengira dia adalah orang gila. Karena penampilannya seperti orang gila, padahal sejatinya dia masih sangat sehat jiwanya. Hanya dia belum bisa menerima kenyataan yang ada. Tatapan orang yang tertuju padanya membuat jantungnya bergemuruh dan dia berusaha menahan jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Karena dia ingat betul orang yang memandang ke arahnya adalah orang yang pernah dia tampar dua tahun yang lalu lantaran anak orang itu berkelahi dengan anaknya. Laki-laki itu segera bangkit dari duduknya dan berniat untuk meminta maaf, tapi justru orang yang akan dimintai maaf melariakan diri. Mungkin dikiranya laki-laki itu gila.

    Rinai hujan mulai turun, dia masih tetap duduk memandangi puing-puing sisa   rumahnya. Terkadang dia berfikir kenapa para sukarelawan membiarkan puing-puing rumahnya teronggok tanpa meratakannya seperti rumah-rumah yang lainnya. Apa mungkin mereka sedang menunggu perintah Tuan Bagus? Sungguh tidak mungkin kan?

     Sorot lampu mobil avanza menyilaukan pandangannya. Dia segera menutupi kedua matanya dengan punggung tangannya. Mobil itu berhenti di sampingnya. Seseorang yang berpakaian rapi dan kekar telah turun dari mobilnya.

    “Tuan Bagus!” sapanya riang.

     Sosok itu membuat dia gemetar, menggigil, wajahnya tiba-tiba memucat bagai tak berdarah. Lehernya seperti tercekik. Matanya berkaca.

“ Kamu…kamu…Karman, bukan?” tanyanya

   “Iya Tuan Bagas saya Karman. Sikap Tuan pada saya waktu itu ternyata telah mengantarkan saya menjadi seperti ini.”

Tentang Penulis:
Diani Ramadhaniesta adalah nama pena dari Diani anggarawati. Lahir di Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 19 maret 1989. Pernah menempuh pendidikan di SMP 2 Gunung Kijang, Tanjung Pinang. Dan melanjutkan pendidikan SMA di tanah Jawa tepatnya di MANU 06 Cepiring. Pernah bekerja di Singapura selama dua tahun, dan kini bekerja di Hongkong. Disela-sela hari liburnya menghabiskan waktu di dua organisasi, yaitu organisasi FLP Hongkong ( Forum Lingkar Pena Hongkong) dan organisasi majlis taklim Al-fatah. Email: Aura_sky@ymail.com; FB: Diani Ramadhaniesta.

Read More......
 
© free template by Blogspot tutorial